
TASIKNET – Dalam riuh sunyi ruang kuliah, ternyata ada luka yang tak terdengar—tetapi sangat nyata. Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh dosen berinisial BCS (38), ASN yang telah lama mengabdi sebagai pendidik. Kasus ini mencuat ke permukaan setelah laporan resmi diajukan ke Satgas PPKPT Unsil bulan Juni lalu.
Kronologi Terungkapnya Dugaan Kekerasan Seksual
Menurut informasi yang beredar, sejumlah perilaku tak pantas terjadi mulai Desember 2024. Di antaranya, dosen BCS disebut sempat menyentuh tangan, melongok ke pinggul, bahkan mengajak korban ke hotel (). Keberanian mahasiswi muncul setelah cukup waktu berlalu—awal laporan resmi dilakukan pada 7 Juni 2025 .
Pihak kampus pun segera merespons: sejak 1 Juni, BCS telah dinonaktifkan dari tugas akademik dan kini dipindahkan sebagai staf di rektorat guna menjaga kala investigasi berjalan.
Satgas PPKPT Bergerak Cepat
Universitas Siliwangi segera membentuk tim investigasi yang melibatkan:
- Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual,
- Ketua jurusan FISIP,
- Unit kerja terkait.
Proses awal investigasi mencakup pemanggilan saksi dan pengumpulan keterangan. Meski begitu, kampus belum menetapkan sanksi; semuanya bergantung hasil temuan Satgas dan rekomendasi rektorat.
Nana Sujana, Kepala Biro Keuangan dan Umum Unsil, menyebut ada indikasi tindakan bullying dan penghinaan selain kekerasan seksual. “Kalau terbukti, pelaku akan mendapat sanksi tegas”.
Dukungan dari KemenPPPA & BEM Kampus
Kasus ini mendapat sorotan dari tingkat nasional. KemenPPPA, melalui tim SAPA dan UPTD PPA Jabar, terang-terangan mengecam tindakan ini dan mendampingi korban dengan pendampingan psikologis. Mereka menegaskan bahwa penerapan Permendikbudristek No. 30/2022 di kampus harus berjalan nyata untuk meminimalkan kekerasan seksual.
Tak mau tinggal diam, BEM Unsil juga aktif mendesak perlindungan bagi korban. Mereka berjanji bakal menjaga keamanan mahasiswi yang berani melapor, menyatakan solidaritas sebagai satu almamater.
Ruang Kampus vs Lorong Trauma
Kasus kekerasan seksual di kampus bukan barang baru. Sejak Februari 2023, Unsil beberapa kali menghadapi kasus serupa—meski dengan pelaku inisial berbeda, reaksi kampus pun mirip: penonaktifan dosen sambil menunggu investigasi.
Namun jama modern menuntut lebih: bukan hanya reaktif, tapi proaktif. Kampus diharapkan tidak hanya punya regulasi bagus, tetapi juga sistem pengaduan dan edukasi yang akuntabel. KemenPPPA sendiri mendorong regulasi lebih inklusif dan edukatif untuk mendorong manusia kampus agar “berani speak up” .
Mengapa Kasus Kekerasan Seksual Sulit Diungkap?
Beberapa faktor memperlambat laporan dan penanganan kasus:
- Rasa takut korban—ragu dilihat serius, takut dilecehkan lagi.
- Bangga nama baik institusi—kadang kampus lebih sibuk menjaga reputasi.
- Minimnya bukti langsung—sayangnya, hal-hal terjadi di ruang tertutup.
- Kurangnya kesadaran masyarakat akademik—kadang norma patriarkal masih mengintai.
Redakan stigma, tingkatkan pelaporan, dan tegakkan hukum menjadi kunci menjernihkan ruang kuliah dari bayang-bayang trauma.
Apa Langkah Selanjutnya?
- Pantau hasil investigasi dan tindak lanjut kampus.
- Dorong pembenahan internal, seperti pelatihan anti‑seksualitas kepada dosen dan mahasiswa.
- Lapor ke pihak berwenang—jika kampus dinilai kurang responsif, korban bisa membawa kasus ke polisi atau KemenPPPA.
- Edukasi berkelanjutan—sosialisasi Permendikbudristek 30/2022 harus dilakukan secara konsisten.