Tasikmalaya, yang kini mencakup Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan Jawa Barat, memiliki sejarah panjang sebagai “Kota Sang Mutiara Priangan Timur”. Wilayah ini awalnya merupakan bagian Kerajaan Galunggung kuno, yang berdiri sejak abad ke-12 Masehi. Pada 21 Agustus 1111, Ratu Batari Hyang mendirikan Kerajaan Galunggung dengan pusat kerajaan di Rumantak (sekitar kaki Gunung Galunggung). Prasasti Geger Hanjuang (abad ke-11) bahkan menyebutkan “Rumantak diperkuat oleh Batari Hyang,” menguatkan bahwa pemerintahan Galunggung dipimpin oleh perempuan pemimpin berkuasa pada masa itu. Batari Hyang – istri Resi Guru Sudakarmawisesa – membangun sistem pertahanan berupa parit (nyusuk atau marigi) di sekeliling ibu kota untuk melindungi rakyatnya. Tahukah Anda? Jejak Kerajaan Galunggung ini kini dapat disaksikan di Situs Geger Hanjuang, yang menghiasi tugu peringatan di kaki Gunung Galunggung.
Memasuki masa beralihnya kekuasaan, pada abad ke-17 wilayah Galunggung berganti nama menjadi Sukapura. Pada tahun 1644 M, Sultan Agung dari Mataram mengangkat Ki Wirawangsa sebagai Mantri Agung Sukapura, tanggal 20 April 1644 itu dianggap tahun berdirinya pemerintahan Sukapura. Sukapura sempat menjadi bawahan Kerajaan Pajajaran dan kemudian Jawa Mataram, hingga masa kolonial Belanda. Di bawah Hindia Belanda, wilayah ini termasuk Karesidenan Cirebon dan pernah diintegrasikan ke Kawedanan Limbangan (sekitar 1811-1814). Pada awal abad ke-20, Raden Tumenggung Wiradiningrat memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya (kota sekarang) pada 1 Oktober 1901. Tiga tahun kemudian (1913) nama Kabupaten Sukapura resmi diubah menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Sekalipun kota Tasikmalaya kala itu masih bagian dari kabupaten, perubahan nama ini menandai awal identitas baru daerah tersebut.
Masa Kolonial dan Perjuangan Kemerdekaan
Pada masa kolonial Belanda, Tasikmalaya (Sukapura) berkembang sebagai pusat pemerintahan daerah. Warisan peninggalan kolonial seperti Pendopo Kabupaten Tasikmalaya dan jembatan peninggalan VOC masih tersebar di kota dan sekitarnya. Setelah Proklamasi 1945, Tasikmalaya pun terlibat dalam peristiwa kemerdekaan. Sebagai bagian Priangan Timur, Tasikmalaya sempat menjadi ibu kota Provinsi Jawa Barat untuk periode singkat, sebelum akhirnya Bandung mengembalikan kursi gubernur pada 1950-an.
Konflik besar terjadi saat Agresi Militer Belanda II (1947). Pasukan Belanda menyerbu dari arah Ciamis menuju Tasikmalaya pada 7 Agustus 1947, tetapi perlawanan rakyat setempat dan Divisi Siliwangi sangat sengit. Salah satu pertempuran paling epik berlangsung di Jembatan Karangresik (perbatasan Tasikmalaya–Ciamis), di mana pejuang Indonesia berhasil menghancurkan jembatan sehingga memukul mundur konvoi Belanda. Namun Belanda membalas dengan mengebom menggunakan pesawat Mustang, akhirnya pasukan Indonesia mundur ke Singaparna dan Tasikmalaya sempat diduduki Belanda.
Selain menghadapi Belanda, penduduk Tasikmalaya juga memerangi pendudukan Jepang. Seorang tokoh penting adalah KH. Zainal Musthafa dari Pesantren Sukamanah (Singaparna). Pada 25 Februari 1944, saat dituntut serdadu Jepang untuk melakukan hormat matahari (Seikerei), beliau dan para santrinya menolak. Pertemuan itu memicu peristiwa Perlawanan Singaparna: tiga perwira Jepang tewas, 86 orang santri dan penduduk gugur, dan akhirnya KH. Zainal Mustafa ditangkap. Ia dieksekusi Jepang pada 25 Oktober 1944. Sebagai pengakuan atas keberanian beliau, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 1972. Tokoh perjuangan lain dari Tasikmalaya adalah Kapten Naseh, prajurit pejuang kemerdekaan yang juga menjulang sebagai pahlawan nasional, serta Ir. H. Djuanda Kartawijaya – lahir di Tasikmalaya (1911) – yang pernah menjabat Perdana Menteri Republik Indonesia (1957–1959) dan mengeluarkan Deklarasi Djuanda tentang batas laut Indonesia.
Tokoh-Tokoh Penting Tasikmalaya
Selain KH. Zainal Mustafa dan Kapten Naseh, berbagai figur nasional lahir di Tasikmalaya. Misalnya, Ir. Djuanda Kartawijaya (1911–1963), negara mengakui jasanya sebagai Bapak Pertahanan Maritim Indonesia lewat Deklarasi Djuanda 1957. Kiai dan ulama lokal lainnya juga berperan penting: Tasikmalaya dikenal sebagai kota santri dengan lebih dari 800 pesantren aktif, yang selama puluhan tahun menjadi basis pendidikan Islam dan semangat perlawanan warga Priangan. Para pahlawan ini diperingati dengan nama jalan, monumen, dan peringatan rutin setiap Hari Santri atau Hari Pahlawan.
Budaya Khas Tasikmalaya: Batik, Payung, dan Kuliner
Payung geulis adalah salah satu kerajinan khas Tasikmalaya yang sudah muncul sejak tahun 1930-an di kampung Panyingkiran (Indihiang). Payung cantik ini terbuat dari anyaman bambu dengan alas kertas berhiaskan motif warna-warni; dulunya dibuat petani untuk berteduh di ladang. Keindahan payung geulis kini menjadi ikon Kota Tasikmalaya (tercermin pada lambang kota). Selain payung, batik Tasikmalaya juga terkenal dengan motif geometris rumit dan warna-warna cerah (merah, kuning, biru, hijau) yang memikat. Sentra batik terpusat di Kampung Ciroyom dan Nagarasari (Kecamatan Cipedes), di mana kerajinan batik tulis diturunkan secara turun-temurun. Motif khasnya sering menampilkan garis simetris, corak flora, dan fauna lokal, melambangkan keakraban masyarakat Tasikmalaya dengan alam sekitar.
Kuliner Tasikmalaya pun berkarakter. Menu paling terkenal adalah Nasi Tutug Oncom: nasi putih hangat dicampur oncom sangrai yang beraroma khas. Hidangan simple namun nikmat ini menjadi ciri kuliner Sunda Tasikmalaya. Serta, daerah ini juga dikenal sebagai penghasil buah salak unggul dan kerajinan anyaman bambu/rotan yang banyak dijual di pasar tradisional. Perpaduan budaya pedesaan dan perkotaan Tasikmalaya — mulai dari tarian Dogdog Lojor atau Rampak Kendang di pentas seni lokal hingga festival Payung Geulis — membuat kawasan ini hidup dengan tradisi.
Tasikmalaya Masa Kini
Saat ini Kota Tasikmalaya memiliki luas ~171,6 km² dengan penduduk sekitar 761.080 jiwa (per Juni 2024). Pemerintah kota mengembangkan infrastruktur dan pusat kreativitas, misalnya Kampung Batik Ciroyom dan Kampung Payung Geulis, untuk mendukung UMKM lokal. Kabupaten Tasikmalaya, yang melingkupi wilayah sekitarnya, jauh lebih besar (2.708 km²) dengan populasi hampir 1,9 juta (est. pertengahan 2023). Sebagian besar penduduk kabupaten bekerja di sektor pertanian (kopi, palawija, dan sayur-sayuran), namun warganya juga bangga sebagai “kota santri” dan pusat industri kecil kerajinan tangan. Julukan “Sang Mutiara Priangan Timur” tetap terjaga hingga kini, menggambarkan Tasikmalaya sebagai wilayah dengan perpaduan alam indah (ratusan bukit kapur dan perkebunan teh) serta budaya yang kaya.
Insight: Nama Tasikmalaya dipercaya berasal dari bahasa Sunda “keusik ngalayah” (pasir tersebar), mengacu pada letusan dahsyat Gunung Galunggung 1822 yang meninggalkan lautan pasir dan bukit-bukit kapur di sekitarnya. Sepintas fakta geologi ini menunjukkan bagaimana alam membentuk budaya dan nama daerah.
Kini kota dan kabupaten Tasikmalaya semakin membuka diri bagi pariwisata sejarah dan budaya. Wisata edukasi ke situs-situs keramat dan museum Sukapura, atau menikmati kerajinan asli di sentra industri, menjadi daya tarik tersendiri. Dukungan fasilitas menginap yang nyaman dan kuliner lokal yang meriah kian membuat kunjungan ke Tasikmalaya sayang untuk dilewatkan.
Ayo Jelajahi Tasikmalaya! Setiap sudut di Tasikmalaya menawarkan cerita: dari reruntuhan galeri Ratu Batari Hyang hingga keramaian pasar batik dan payung warna-warni. Ajak keluarga atau teman-teman Anda mengunjungi “Tanah Santri” yang kaya sejarah ini. Pelajari lebih jauh warisan budaya dan kisah kepahlawanan Tasikmalaya — siapa tahu Anda akan menemukan inspirasi baru di balik pesona kota dan kabupaten ini.
Sumber: Berbagai literatur sejarah dan budaya Tasikmalaya, termasuk IDN Times, Detik Jabar, situs resmi Kemdikbud, serta arsip BPS dan publikasi lokal. Dokumentasi infrastruktur, pemikiran tokoh, dan data terbaru turut dijadikan rujukan untuk menyajikan gambaran lengkap dan akurat. Selamat menelusuri sejarah Tasikmalaya!