Di balik perbukitan hijau dan kabut pagi yang menyelimuti Dayeuh Luhur, Sumedang, tersimpan kisah seorang raja yang tak hanya memimpin dengan kebijaksanaan, tetapi juga menjadi simbol transisi sejarah dari Kerajaan Sunda menuju era Islam di Tatar Pasundan. Dialah Prabu Geusan Ulun, sosok yang namanya abadi dalam lembaran sejarah Jawa Barat.

Awal Kehidupan: Dari Angkawijaya Menuju Takhta
Lahir pada 19 Juli 1558 dengan nama Angkawijaya, ia adalah putra dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun. Sebagai anak sulung dari enam bersaudara, Angkawijaya tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan kepemimpinan. Ayahnya, Pangeran Santri, dikenal sebagai tokoh yang membawa nuansa Islam ke dalam Kerajaan Sumedang Larang, menjadikannya sebagai kerajaan Islam pada masa pemerintahannya antara tahun 1530 hingga 1579.
Penyerahan Mahkota: Simbol Legitimasi dan Kedaulatan
Perjalanan Angkawijaya menuju takhta tidak hanya melalui garis keturunan, tetapi juga melalui legitimasi simbolik. Ia menerima Mahkota Binokasih dari empat Kandaga Lante, utusan Kerajaan Sunda, sebagai tanda peralihan kekuasaan dan pengakuan atas dirinya sebagai penerus sah Kerajaan Sunda yang telah runtuh. Dengan penyerahan mahkota tersebut, Sumedang Larang tidak hanya menjadi penerus secara genealogis, tetapi juga secara simbolik dan spiritual.
Masa Pemerintahan: Kemajuan dan Tantangan
Memerintah dari tahun 1578 hingga 1608, Prabu Geusan Ulun membawa Sumedang Larang ke puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Sukabumi, menjadikan kerajaan ini sebagai kekuatan politik dan militer yang disegani di Tatar Pasundan . Namun, masa pemerintahannya juga diwarnai oleh tantangan, terutama dari Kesultanan Cirebon, yang dipicu oleh kisah cinta antara Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya, istri Raja Cirebon.
Kisah Cinta dan Strategi Politik
Pertemuan kembali antara Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya, yang pernah menjadi kekasihnya saat menuntut ilmu di Demak, memicu konflik besar. Ratu Harisbaya memutuskan untuk meninggalkan Cirebon dan bergabung dengan Prabu Geusan Ulun, yang kemudian memindahkan ibu kota kerajaan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur untuk menghindari serangan dari Cirebon. Langkah ini menunjukkan bagaimana keputusan pribadi seorang raja dapat mempengaruhi strategi politik dan pertahanan kerajaan.
Warisan Budaya dan Spiritualitas
Hari ini, makam Prabu Geusan Ulun di Dayeuh Luhur menjadi situs ziarah yang penting, dikelilingi oleh makam anggota keluarga kerajaan lainnya dan petilasan Eyang Jaya Perkasa, panglima kerajaan yang setia. Kompleks ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir sang raja, tetapi juga simbol warisan budaya dan spiritualitas yang terus hidup di tengah masyarakat Sumedang.
Penutup: Jejak Abadi Sang Raja
Prabu Geusan Ulun bukan sekadar tokoh sejarah; ia adalah simbol transisi, keberanian, dan kebijaksanaan dalam menghadapi perubahan zaman. Dari penerimaan Mahkota Binokasih hingga kisah cintanya yang legendaris, setiap aspek kehidupannya memberikan pelajaran tentang kepemimpinan, cinta, dan strategi. Bagi para pelancong dan pecinta sejarah, mengunjungi makamnya di Dayeuh Luhur adalah perjalanan menyusuri jejak-jejak masa lalu yang masih terasa hangat hingga kini.