
Di balik perbukitan hijau Tasikmalaya yang berundak bak sajadah alam terbentang, terselip sebuah desa bernama Pamijahan. Di sanalah berdiri sebuah makam yang tak sekadar menjadi tempat peristirahatan terakhir seorang ulama besar, tapi juga menjadi poros spiritual yang menggema hingga ke pelosok Nusantara—Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
Jejak Sang Wali di Tanah Parahyangan
Nama Syekh Abdul Muhyi tak bisa dilepaskan dari sejarah Islam di Tatar Sunda. Ia bukan sekadar ulama, tapi juga pembawa obor ilmu tarekat yang mengakar dalam tasawuf. Dalam gurat waktu sejarah, ia disebut sebagai penyebar tarekat Syattariyah di Jawa, membawa ajaran yang mengajak umat Islam tidak hanya mengenal syariat, tapi juga menyelami hakikat.
Lahir sekitar tahun 1650 M di Mataram, Abdul Muhyi adalah buah dari dua garis keturunan bangsawan: ayahnya berasal dari kerajaan Galuh Pajajaran, sementara ibunya memiliki silsilah yang bersambung hingga Sunan Giri. Tak heran jika darah kepemimpinan dan keilmuan mengalir deras dalam dirinya.
Sejak kecil, ia digembleng dalam pendidikan agama yang ketat. Setelah menimba ilmu di Ampel Denta, ia melanjutkan perjalanan ke Aceh, berguru pada Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, pelopor tarekat Syattariyah di Nusantara. Dari sanalah perjalanan spiritualnya bermula—melintasi laut, gunung, dan lorong waktu demi sebuah misi suci.
Mencari Gua, Menemukan Jalan
Kisah perjalanan Syekh Abdul Muhyi menuju Pamijahan tak ubahnya sebuah narasi epik. Gurunya berpesan, sebelum memulai dakwah, ia harus menemukan sebuah gua suci. Gua itu memiliki satu ciri ajaib: jika seseorang menanam padi di sekitarnya, maka hasil panennya akan sama persis dengan jumlah benih yang ditanam—tidak lebih, tidak kurang. Simbol keseimbangan, keikhlasan, dan ketulusan dalam menanam kebaikan.
Berbulan-bulan ia menjelajah, dari Pameungpeuk hingga Lebaksiuh, sampai akhirnya menemukan gua yang dimaksud. Gua itu kini dikenal sebagai Gua Safarwadi, terletak tak jauh dari Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Di sanalah ia mulai menanam benih dakwahnya.
Pamijahan, dari sebuah dusun sunyi, menjelma pusat spiritual yang berdenyut dalam sunyi zikir dan ilmu. Di sini, tarekat Syattariyah berkembang pesat, menjadi jalan bagi ribuan santri dan peziarah mencari kedalaman makna dalam Islam.
Makam yang Tak Pernah Sepi
Kini, ratusan tahun telah berlalu, namun Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan tak pernah sepi dari kunjungan. Peziarah datang dari berbagai penjuru Nusantara, menyusuri jalan sempit dan terjal hanya untuk mengirim doa di pusara sang wali. Di hari-hari tertentu, seperti Maulid atau malam Jumat, ribuan orang memadati kawasan makam.
Makam itu sederhana. Namun kesederhanaannya justru membungkus aura khusyuk yang dalam. Aroma dupa samar-samar menyatu dengan semilir angin perbukitan, menciptakan suasana yang mendamaikan hati. Di sisi lain, Gua Safarwadi tetap berdiri kokoh—saksi bisu akan tekad dan perjalanan spiritual sang Syekh.
Mengunjungi makam ini bukan hanya soal ziarah, tetapi juga menyelami kisah panjang perjuangan menyebarkan Islam dengan kelembutan, ilmu, dan kebijaksanaan. Dalam setiap langkah, tersimpan pesan: bahwa jalan menuju Tuhan bukan sekadar ritual, tapi juga pencarian makna.
Tarekat Syattariyah: Jalan Menuju Hakikat
Tarekat, dalam maknanya yang dalam, adalah jalan sunyi menuju pemahaman hakikat Ilahi. Tarekat Syattariyah, yang dibawa Syekh Abdul Muhyi ke tanah Jawa, berasal dari India abad ke-15 dan dikenal sebagai salah satu tarekat yang mengedepankan zikir dan pengenalan diri secara mendalam.
Dalam pengajarannya, Syekh Abdul Muhyi memperkenalkan konsep “martabat kang pitutur”—suatu tahapan spiritual yang bertujuan menyucikan hati dan menghubungkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Tarekat ini kemudian berkembang luas melalui murid-muridnya, termasuk anak-anaknya seperti Faqih Ibrahim (Bagus Anom) dan Dalem Bojong, yang menyebarkan ajaran ini hingga Jawa Tengah dan Sukapura.
Menyambung Tradisi, Menjaga Warisan
Ziarah ke Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan bukanlah sekadar wisata religi. Ini adalah perjalanan batin, napak tilas spiritual untuk memahami kembali akar tradisi Islam Nusantara yang ramah, damai, dan penuh cinta.
Desa Pamijahan kini terus berkembang sebagai salah satu destinasi wisata budaya di Tasikmalaya. Pemerintah daerah dan masyarakat lokal pun mulai menyadari pentingnya menjaga kawasan ini, bukan hanya sebagai situs religi, tetapi juga warisan budaya yang tak ternilai.
Saat menginjakkan kaki di sana, Anda tak hanya menyapa sejarah, tetapi juga menyentuh lapisan-lapisan spiritualitas yang diwariskan turun-temurun.
Akhir Kata: Langkah Kecil, Makna Besar
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, ziarah ke Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan adalah cara untuk melambat dan merenung. Sebuah perjalanan spiritual yang menyegarkan jiwa, seperti seteguk air di tengah padang sahara kehidupan.
Datanglah, rasakan sendiri getar spiritualitas yang masih hidup di setiap sudut Pamijahan. Siapa tahu, di antara desir angin dan doa yang terucap, Anda menemukan “gua” dalam diri sendiri—tempat sunyi tempat Tuhan menyapa tanpa suara.