Di balik keheningan lereng Gunung Galunggung, tersimpan kisah inspiratif Mak Eroh – seorang petani wanita yang berani “membelah gunung” demi kebutuhan air desanya. Setelah letusan besar Gunung Galunggung, pasir dan abu vulkanik menimbun sungai-sungai kecil di sekitar Kampung Pasirkadu, Desa Santanamekar, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya. Sawah penduduk tidak dapat mengairi lagi karena sumber air tertutup material letusan. Dalam kondisi sulit itulah Mak Eroh, usia kala itu sekitar 45–50 tahun, memutuskan bertindak nekat. Ia bersandar pada semangat juang yang tinggi serta pemikirannya sendiri bahwa penduduk bisa diberi air. Sebagaimana dilaporkan media, “Mak Eroh rela membelah cadas bebatuan di Pegunungan Galunggung… demi mengalirkan air ke perkampungannya”. Kisah heroiknya ini kemudian diabadikan oleh Majalah Geologi IAGI yang mencatat ia harus “menggali saluran air sepanjang 5 kilometer… saat warga kesulitan air akibat saluran air banyak yang tertutup oleh material letusan Galunggung”.

Hidup di Lereng Galunggung yang Gersang
Mak Eroh lahir dan besar di Kampung Pasirkadu, sebuah dusun kecil di kaki Gunung Galunggung. Wilayah itu dikenal gersang dan penduduknya hidup sederhana. “Wilayah itu gersang. Penduduk sekitar, termasuk Mak Eroh, setiap harinya hanya makan singkong dan ubi,” tulis Koalisi Perempuan Indonesia tentang kehidupan sehari-harinya. Hidup di daerah rawan bencana dan kekeringan menjadikan Mak Eroh terbiasa dengan kerja keras sejak muda. Setiap hari ia mengais rezeki dengan berjualan singkong dan janur kelapa, meski usianya kala itu sudah paruh baya (sekitar 50 tahun saat kisah ini terjadi). Ia adalah sosok pekerja keras; meski pendidikan terputus di kelas III SD, semangatnya tak pernah surut menghadapi kerasnya kehidupan desa.
Meski hidup prihatin dan sehari-hari harus berjualan hasil kebun, Mak Eroh tetap memelihara nilai gotong royong dan kepedulian. Ia menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya terkena stroke. Di usianya yang tidak lagi muda, tugas berat ini menuntut tekad ekstra. Dalam kondisi itulah pada tahun 1987 gejolak datang: Abu vulkanik dan longsoran lumpur menutup aliran sungai kecil yang biasa mengairi sawah penduduk sekitar. Sawah kering, panen gagal, dan warga menghadapi krisis air bersih.
Menemukan Sumber Air di Tengah Hutan
Suatu hari ketika berburu jamur di hutan yang masih asri, Mak Eroh beruntung menemukan sebuah sumber mata air yang belum terkontaminasi material letusan. Ia pun percaya sumber itu mampu menghidupkan kembali sawah-sawah yang kering. Keyakinan inilah yang menggerakkan hatinya: tanpa pikir panjang, ia menyiapkan alat seadanya – cangkul, linggis pendek (balincong), dan seutas tali rotan – untuk menggali jalan dari sumber air ke desa. Dalam catatan Koalisi Perempuan Indonesia disebutkan “dengan usianya yang tak lagi muda, ia seorang diri memapras bukit cadas liat sepanjang 45 meter untuk membuat saluran yang mengalirkan air dari Sungai Cilutung ke sawah”.
Tanpa dukungan alat berat atau penduduk lain, ia memulai misinya pada lereng terjal Galunggung. Alat sederhana di tangan – cangkul (pacul) dan linggis – ia gunakan untuk mengikis batuan dan tanah liat. Tali rotan yang diikatkan di pinggangnya membantu menopang tubuhnya saat bekerja di lereng curam. Dalam tempo 45 hari tanpa henti, Mak Eroh terus bergulat dengan batu-batu, memahat lereng bukit hingga terbentuk saluran dangkal. “Pembuatan jalur dilakukan Mak Eroh selama 45 hari, sampai air benar-benar mengalir ke perkampungannya,” lapor Merdeka. Kerja keras itu membuat saluran air akhirnya terhubung dari mata air ke pinggir desa.
Tantangan Cibiran Warga
Perjuangan Mak Eroh sempat menuai cemoohan. Banyak warga desa menganggap ide membuka lereng gunung mustahil dan menertawakannya. “Banyak yang menganggapnya gila karena membuat aliran air di lereng Galunggung terasa mustahil,” tulis Merdeka tentang reaksi masyarakat. Namun Mak Eroh tidak goyah. Ia tetap yakin pada kemampuannya. Seperti dikenang Koalisi Perempuan, “mendengar cibiran warga… tidak menyurutkan langkahnya, Mak Eroh percaya akan kemampuannya sendiri.” Semangat “perempuan baja” itu pun berbuah manis: perlahan skeptisisme berubah jadi dukungan. Ketika aliran mulai menuruni lereng dan mendekati pemukiman, masyarakat pun turun tangan membantu memperlebar saluran.
Menurut laporan terkini, “sekitar 6 kilometer saluran air ia garap, hingga lebih dari 100 cangkul patah dalam prosesnya… perlahan skeptisisme warga berubah menjadi dukungan”. Akhirnya, kerja keras Mak Eroh membuahkan hasil. “Air mengalir deras ke kampung, menghidupkan kembali sawah, ladang, dan harapan warga,” tutup artikel iNews Tasikmalaya tentang kegigihannya. Dengan dukungan gotong royong, warga selanjutnya memperpanjang saluran itu mencapai sekitar 4,5 kilometer ke persawahan sekitar. Lahan pertanian yang sempat mati suri kembali terairi dan kini mampu panen hingga tiga kali setahun – buah karya Mak Eroh dan warga desa.
Penghargaan dan Legasi Lingkungan
Kisah perjuangan Mak Eroh sempat menarik perhatian nasional. Usahanya didengar Presiden Soeharto hingga dianugerahi Kalpataru (penghargaan lingkungan hidup) tahun 1988. Tak hanya itu, tahun berikutnya ia mendapat penghargaan lingkungan hidup dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Taburan penghargaan ini terekam di prasasti makamnya: di atas nisan tertera gelar “Pahlawan Lingkungan Hidup Ma Eroh” dan keterangan penerima Kalpataru 1988 serta Penghargaan PBB 1989.
Pengakuan juga datang dari pemerintah daerah. Sebuah monumen peringatan kini berdiri di Alun-Alun Tasikmalaya untuk mengenang perjuangan Mak Eroh (bersama tokoh lingkungan lain, Abdul Rozak). Patungnya di taman kota Tasikmalaya menggambarkan Mak Eroh sedang memegang bendera bertuliskan ‘KALPATARU’. Patung ini menjadi simbol penghargaan atas jasanya mengalirkan kehidupan bagi kampungnya. Meski demikian, banyak anak muda di Tasikmalaya kini malah tak mengenal lagi sosok “emak pembelah bukit” tersebut. Saluran air hasil jerih payahnya pun sempat luput dari perhatian pemerintah, hingga beberapa bagian rusak karena tak terawat.
Akhir Hidup yang Penuh Pilu
Setelah bertahun-tahun menjadi pahlawan kampung, kehidupan Mak Eroh di akhir hayatnya berbalik menyedihkan. Ia wafat pada 18 Oktober 2004 dan dimakamkan tepat di samping rumahnya, dengan prasasti makam yang mengenang perjuangannya. Sayang, saat itu keluarganya belum sejahtera. Laporan media pada tahun 2022 menyoroti kondisi Mak Eroh di masa senja: hidup sebatang kara di gubuk reyot, tanpa listrik atau fasilitas layak. Dengan penglihatan yang menurun (mata kanan buta permanen, mata kiri katarak), ia harus berjalan jauh menjajakan sapu lidi demi bertahan. Satu sapunya pun hanya laku seharga Rp2.000 per buah sehari. Nasibnya di usia renta memancing empati netizen, banyak yang menawarkan bantuan atau hanya menitipkan doa. Pemerintah kabupaten pun berjanji menengok dan membantu keluarganya, namun realitas hidupnya tetap mencuri hati publik sebagai kisah inspirasi sekaligus pilu.
Pelajaran dari Semangat Mak Eroh
Kisah Mak Eroh memperlihatkan bahwa tekad seorang individu bisa membawa perubahan besar. Dari keterbatasan fisik dan dukungan minim, ia berhasil menghubungkan sumber air ke desanya. Nilai kegigihan, kepedulian sosial, dan keberanian mengambil tindakan tanpa pamrih sangat kentara dalam sosoknya. Mak Eroh mengajarkan bahwa merintis perubahan tak melulu perlu teknologi canggih; cukup keberanian bermimpi dan kerja keras. Ia pantang menyerah meski dihina dan hidup dalam kesederhanaan, namun perbuatannya memberi “air kehidupan” bagi banyak orang.
Ayo kita teladani semangat pantang menyerah Mak Eroh dalam kehidupan sehari-hari. Bagikan kisah inspiratif ini kepada keluarga, teman, dan komunitas agar semangat kepeduliannya terhadap sesama dan lingkungan mengalir lebih luas. Semoga keberaniannya menyentuh hati banyak orang untuk tak ragu melakukan kebaikan—walau sekecil apapun—demi kemakmuran bersama.
Sumber: Berbagai media dan publikasi terpercaya mengisahkan kehidupan dan perjuangan Mak Eroh